BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Fuad Hasan dalam buku beliau Pengantar Filsafat barat di kemukakan bahwa :
“Sejak era Renaissance hingga memasuki abad ke 20 M. alam pikiran di eropa barat ditandai oleh kemunculannya berbagai aliran filsafat yang tidak mudah dipertemukan. Pertemuan tersebut menghasilkan pertentangan, sehingga filsafat justru mengaburkan adanya landasan yang pasti sebagai titik pijak untuk mengembangkan pemikiran sebagai proses penalaran yang sistematis dan konsisten”.[1]
Dalam era renaissance tersebut merupakan masa jayanya rasionalisme. Pada masa itu pula di Prancis masanya kebebasan berkembang dengan bermunculannya golongan yang tersebut kaum philosophes.[2] Pada tempat yang sama (Prancis) muncul tokoh penting yang tidak sepaham dengan rasionalisme, ia adalah Hendri Bergson (1859-1941); bahwa rasionalisme selalu berlaku tidak cukup untuk memahami semua gejala dalam kenyataan; tidak kalah pentingnya ialah peran intuisi. Sebagai daya manusia untuk memahami dan menafsirkan kenyataan.[3]
Epistemologi berarti berbicara tentang “bagaimana cara kita memperoleh ilmu pengetahuan?”. Dalam memperoleh pengetahuan inilah akan ada sarana dipergunakan seperti akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi antara akal dan pengalaman institusi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik rasionalisme, empisisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme dan phenomenologik dengan berbagai variasinya.[4]
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi
B. Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam makalah ini kami akan membahas salah satu cara yang ditempuh akal manusia untuk mencapai kebenaran ilmu, yaitu epistemologi phenomenologi.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen pengasuh mata kuliah Filsafat Ilmu
2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan bersama dalam pembahasan masalah filsafat terutama filsafat epistemologi phenomologi
D. Metode Penulisan
Metode yang penulis pakai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Metode kepustakaan yakni menggunakan sarana kepustakaan untuk menggali bahan yang berkenaan dengan judul makalah yang ada
2. Impiris yakni dengan membandingkan beberapa pendapat yang ada dan kemudian disimpulkan menurut analisis penulis
.
BAB II
PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI FENOMENOLOGI
A. Istilah dan Pengertian Epistemologi Fenomenologi
Pembahasan yang kafah mengenai filsafat akan mudah dipahami jika diawali dari pembahas istilah dan pengertian, maka berikut disajikan istilah dan pengertian dari topik pembahasan tentang filsafat fenomenologi, hal tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Istilah Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen). [5]
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786) yang di kutip Sutrisno, et al. untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. [6]
2. Pengertian Phenomenologi
Phenomenologi berasal dari kata fenomenon dan logos. Fenomenon secara asal kata berarti fantasi, fentom, jostor, foto yang sama artinya sinar, cahaya. Dari asal kata itu dibentuk sesuatu kata kerja yang antara lain berarti nampak, terllihat karena cahaya, bersinar.
Dari itu fenomenon berarti sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya dalam bahasa kita “gejala” logos dari bahasa Yunani berarti ucapan, pembicaraan, pikiran, akal budi, kata, arti, studi tentang, pertimbangan tentang ilmu pengetahuan, tentang dasar pemikiran, tentang suatu hal.[7]
Kemudian diungkapkan pula bahwa pengertian fenomenologik adalah :
Kata “Fenomenologi” berasal dari bahasa Yunani fenomenon yaitu sesuatu yang nampak atau disebut “gejala” menurut para pengikut filsafat fenomenologi, “fenomenon” adalah “apa yang menampakkkan diri dalam diri sendiri” suatu fenomenon itu tidak perlu harus dapat dipahami dengan indera, sebab fenomenon dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani tanpa mlewati indera.[8]
Dan sejak Edmund Husserl (1859-1938) sebagai tokoh phenomenologi, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir, fenomenologi bukan sekedar pengalaman langsung yang tidak mengimplisitkan penafsiran dan klasifikasi.[9]
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia
Dari beberapa pengertian di atas tentang fenomenologi, maka dapat dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
B. Tokoh dan Pokok-Pokok Pikirannya
1. Edmund Husserl (1859-1938)
Husserl lahir di Prosswitz (Moravia), ia seorang Yahudi filosof Jerman pendiri fenomenologi. Di uneversitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika dan filsafat, mula-mula di Leipzig, kemudian juga di Berlin dan Wina. Disana ia tertarik pada filsafat Franz Brentano.[10]
Jika kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap filsafat, kita harus mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl. Menurutnya fenomenologi itu merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomeno yang murni, kita harus mulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang murni”.
Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak terbatas banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda itu dapat dilukiskan menurut kesadaran dimana ia temukan. Dengan begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau sasaran pikiran, justru karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuk yang murni.[11]
Filsafat Husserl memang mengalami perkembangan yang agak lama. Pada mulanya ia berfilsafat tentang ilmu pasti, tetapi kemudian sampai jugalah ia pada renungan tentang filsafat umumnya serta dasar-dasarnya sekali. Seperti dulu descartes ia berpendapat bahwa adanya bermacam-macam aliran dalam filsafat yang satu sama lain bertentangan itu, karena orang tidak mulai dengan metode dan dasar permulaan yang dipertanggungjawabkan. Maka dari itu haruslah dicari satu metode yang memungkinkan kita berpikir, tanpa mendasarkan pikiran itu kepada suatu pendapat lebih dulu.biasanya orang berpikir setelah mempunyai suatu teori atau pemikiran sendiri. Itu tidak benar, demikian Hesserl, orang harus memulai dengan mengamat-amati hal sendiri tanpa dasar suatupun: (Zun den Sachen Selbest). Ia memerlukan analisa kesadaran. Maka analisa ini menunjukkan kepada kita, bahwa kesadaran itu selalu terarah kepada obyek. Oleh karena yang diselidiki itu susunan kesadaran itu sendiri, maka haruslah nampak obyek dalam kesadaran (gejala fenomenon), maka gejala itu diselidiki pula. Sungguh tidaknya obyek tidaklah masuk dalam penyelidikan. Yang harus dicari sekarang ialah sungguh-sungguh merupakan intisarinya. Adapun yang diluar intisari itu tidak dihiraukan. Tetapi bukanlah cara abstraksi seperti ajaran Tomisme melainkan inti itu tercapai instisi : inti itu terpandang oleh budi, demikian terdapat inti susunan kesadaran, akan tetapi hal ini lain dari kesadaran empiri : inti itu terpandang oleh budi.
Pengaruh Husserl amat besar, pula dalam aliran-aliran lain. Ada yang mempergunakan meode ini untuk segala ilmu atau cabang filsafat, misalnya S. Strasser dalam antrofologi. E de Bruyne dalam etika serta Langeveld dalam pedagogiknya.[12]
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi yang dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.
Kemudian Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau esensi (eidos) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition). Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau esensi (eidos) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition). Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu:
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu:
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.[13]
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
2. Max Scheler
Disamping Husserl adalah filosof fenomenologi, yaitu Max Scheler (1874-1928). Bagi Scheler, metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap bahan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurut Scheler ada tiga jenis fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu :
(1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.[14]
3. Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu : Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
C. Dasar-dasar Filsafat Epistemologi Fenomenologi
Peletakan dasar-dasar filafat epistemonologi dapat di lakukan dengan beberapa pendekatan seperti yang di uraikan berikut:
1. Pendekatan filsafatnya berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis menunjukkan bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
2. Orang harus berpikir, dengan memulai dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
3. Fenomenologi kebenaran dibuktikan berdasarkan ditemukannya yang essensial.
4. Fenomenologi menerima kebenaran di luar empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran sensual, kebenaran logik, ethik dan transedental.
5. Fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya.
6. Fenomenologi lebih merupakan sikap bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi, induksi, observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi.[15]
Dari pendekatan-pendekatan tersebut maka jelaslah bahwa phenomenologik berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya
D. Kelebihan dan kekurangan Filsafat Phenomenologik
Kelebihan filsafat phenomenoligik diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Phenomenologik sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan
2. Phenomenologik mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif
3. Phenomenologik memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya[16]
Dengan demikian phenomenologik menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang di amati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan dewasa ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama
Dari berbagai kelebihan tersebut, phenomenologik sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
1. Tujuan phenomenologik untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd
Dari kelebihan dan kekurangan tersebut maka kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu pula serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasikan.
BAB III
P E N U T U P
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :
1. Phenomenologik merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya
2. Epistemologi phenomenologi yang diperkanalkan oleh Husserl dengan kajian berpusat pada analisis terhadap gejala yang nampak dalam kesadaran manusia. Untuk melahirkan suatu teori tersebut maka seseorang jangan berpedoman pada teori orang lain (bukan menguji teori yang ada) tapi mengamati tanpa dasar apapun.
3. Dalam pemikiran phenomenologi seseorang yang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya, dan juga terkait pada konsep-konsep yang telah dimilikinya sendiri (sangat relatif). Kebenaran logik, ethik dan transendental (kebenaran di luar empirik inderawi) diterima oleh fenomenologi. Metode ini banyak mempengaruhi segala cabang ilmu filsafat.
B. Saran-saran
Adapun beberapa hal yang dapat kami sarankan yaitu :
1. Hendaknya setiap kita selalu menanamkan pemahaman yang realistis terhadap aliran-aliran yang ada dalam filsafat sebagai wahana pengaya pengetahuan tentang filsafat llmu
2. Kekurangan dari penyusunan dan penulisan ini hendaknya menjadi pemacu bagi rekan mahasiswa yang lain untuk lebih membuka ide, wawasan dan menggali lebih dalam akan makna filsafat itu yang sesungguhnya.
Abdul Munin al-Hifni, al-Mausu’ah al-Falsafiyah, beirUt Libanon, Dar Ibn Zaidun, tt. Cet. ke I
Burhanuddin Salam, Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan), Jakarta, Renika Cipta
Dirjarkara, Percikan Filssafat, Jakarta PT. Pembangunan, tahun 1978.
Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta, Pustaka Jaya, tahun 1996, cet. ke I
Hasan Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993, cet. ke 9
Koento Wibisono Siswoniharjo, Ilmu Pengantar Sebuah Sketsa Umum Untuk Mengenal Kalahiran dan Perkembangan Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Leberty, 1996.
Moh, Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan., Yogyakarta, Belukar, 2005
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Reka Sarasin, tahun 1998.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, Pt, Pembangunan, 1974.
Sutrisno, et.al., Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta, Kanisius, 2005
Titus, Living Issnes In Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa oleh M. Rasyidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.