BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat. Ontologi atau teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.[1]
Aspek kedua dari ketiga cabang filsafat tersebut, yakni Epistemologi dalam rumusan lain disebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.[2]
Sejarah tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu pemikirab yang berasaskan pada pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat asli fitrahmanusia yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan, perbedaan pendapat serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof masing-masing yang dianut oleh para ilmuan pada masa itu. Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau berdasarkan pada kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi pemikran tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah denga hasil yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.
Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[3]
Kata Irfan berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab, secara etimologi, Irfani berasaldari bentuk masdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu atau mengetahui.[4] Seakar kata pula dengan ma’ruf (kebajikan) dan ma’rifat (pengetahuan)
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.
Sekat-sekat formalitas lahiriyyah yang diciptakan oleh tradisi epistemologi bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan, kultur, tradisi, yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpresonal antar umat manusia, ingin dipinggirkan oleh tradisi berpikir Irfani yang kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.
B. Konsep
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.[5] Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[6]
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[7]
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[8]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[9]
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, [10]sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[11] Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[12]
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Remaja Rosdakarya : Bandung 2009)
Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)
A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka Progresif, Surabaya : 1997)
Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997)
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar,(Jakarta : Rineka Cipta,2008)
Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002)
Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994)
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984)
[1] Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Remaja Rosdakarya : Bandung 2009) hal. 23
[3] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34
[4] A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka Progresif, Surabaya : 1997) hal
[5] Al Qusyairi, Al Risalah, Beirut, Dar-al Khair, tt. Hal 89
[6] Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994). Hal. 51-53
[7] Al Qusyari, Op. Cit. hal 75
[8]Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997).hal.58
[9]Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka, Bandung:1981)hal. 67
[10]Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002) hal. 41
[11] Mehdi Hairi, Op. Cit. hal. 245
[12] Ali Issa Othman, Op Cit. hal 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar